Ini merupakan lanjutan dari nasihat
ana sebelumnya tentang kejujuran kita dalam amar ma’ruf dan nahi munkar. Mari
kita angkat dari perkataan Abu Al- ‘atahiyyah yang berbunyi :
قد بين الرحمن مقت الذي ..... يأمر بالحق و
لا يفعل
من كان لا تشبه أفعاله ........... أقواله
فصمته أجمل
Ar- Rahman
( Allah) telah menyatakan kebencian- Nya terhadap seseorang……Yang ia menyeru
kepada kebajikan dan tidak mengerjakannya.
Barang
siapa yang perbuatannya tidak selaras ………. dengan perkataannya, maka dengan
keadaannya yang begitu diamnya ia lebih baik.
Sebagaimana yang telah dipaparkan dengan jelas sebelumnya, bahwasannya
banyak kita dapati di dalam Al- qur’an ataupun sunnah Rasulullah Shallahu ‘alaihi
wa sallam ancaman pedas terhadap mereka yang tidak jujur dalam menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran. Belum lepas rasa takut ini akan sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh seorang sahabat tentang adzab yang diterima oleh seorang
lelaki yang menyeru kepada kebaikan tetapi tidak mengerjakannya, mencegah kemungkaran tetapi ia
melakukannya.
Bahkan ancaman dan celaan- celaan ini sudah banyak yang
membuat penuntut ilmu enggan untuk berda’wah, amar ma’ruf, nahi munkar serta
mengamalkan ilmu- ilmu yang telah ia dapatkan semasa menuntut ilmu.
Diantara mereka ada yang berkata :
“Saya masih
banyak kekurangan, dan masih melakukan sebagian perbuatan dosa. Aku merasa
tidak pantas untuk berdakwah, sementara diriku sendiri masih banyak
kekurangan”,
Untuk tulisan kali ini akan ana angkat dari sebuah pertanyaan yang
mungkin banyak dipertanyakan oleh mereka yang semangat dalam berda’wah namun
disisi lain mereka menyadari akan kekurangan diri mereka sendiri. Begitu juga
ulasan kali ini insya Allah juga akan menjawab syubhat yang menghantui pera
penuntut ilmu hingga enggan untuk berda’wah.
Pertanyaannya adalah ; Apakah ada syarat ‘adalah ( adil atau dapat
kita artikan sebagai kepribadian yang hampir sempurna) dalam amar ma’ruf nahi
munkar? Dan apakah disyaratkan atas seorang da’I bahwa ia harus terlepas dari
seluruh dosa dan kesalahan?
Ikhwati
fillah a’azzniyallahu wa iyyakum…..
Pada hakikatnya,
sudah sepatutnya seorang da’I itu perkataannya tidak menyelisi perbuatannya,
akan tetapi hendaklah ia menyeru kepada kebajikan dan ia mengerjakannya,
mencegah akan suatu kemungkaran namun ia pun tercegah darinya.
Dikatakan bahwasannnya
ada seorang lelaki berkata kepada Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhu: “aku ingin menyeru
orang kepada kebaikan dan mencegah mereka akan kemungkaran”, maka Ibnu ‘Abbas
lantas berkata, apabila engkau tidak khawatir akan disalah- salahkan/
dicemarkan oleh tiga ayat berikut ini maka lakukanlah, namun pabila engkau
takut akan celaanya maka mulailah dengan diri sendiri, kemudian beliau
membacakan ayat – ayat tersebut,
أتأمرون الناس و تنسون أنفسكم و أنتم تتلون الكتاب أفلا تعقلون
“Mengapa
kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri
(kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah
kamu berpikir?”( Q.S Al- Baqarah : 44)
ياأيها الذين أمنوا لم تقولون ما لا تفعلون.. كبر مقتا عند الله أن تقولوا ما لا تفعلون
“ Wahai orang-orang yang
beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan”( Q.S As- Shaff : 2- 3)
Dan firmannya Allah menceritakan tentang Nabi Syu’aib
‘Alaihis Salam,
و ما أريد أن أخالفكم إلى ما أنهاكم عنه
“dan
aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang” (Q.S
Hud: 88)
Ibnu ‘Abbas berkata , apakah engkau telah
memutuskannya ? ia berkata : tidak, lantas Ibnu ‘Abbas berkata: Maka mulailah
dari diri engkau”.
Mungkin antum akan berkata : “ khabar- khabar
yang shohih ini atau atsar- atsar yang jelas ini seakan- akan meletakkan syarat
‘adalah ( dapat kita maknai dalam hal ini hampir sempurna prilakunya ) dalam
amar ma’ruf dan nahi munkar ”
Jawabannya, yang demikian itu adalah yang paling
sempurna da’wahnya dan paling afdhol.
Kita dapat katakan bahwasannya seorang mukmin
hendaklah ia menjadi seorang mukmin yang bertaqwa dan adil. Akan tetapi tidak
dapat kita pungkiri bahwasanya tidak ada seorangpun di muka bumi ini yang luput
dari dosa dan kesalahan. Namun disisi lain amar ma’ruf dan nahi munkar tetaplah
harus ditegakkan.
Kalaulah seandainya tidak ada yang menasehati
manusia selain seorang yang ma’sum dan terjaga dari kesalahan maka yang namanya
amar ma’ruf dan nahi munkar tersebut akan terlantar tanpa ada yang
menegakkannya, sedangkan ia adalah tiangnya agama islam ini.
Sebagaimana yang telah dikatakan seorang penyair,
إذا لم يعظ الناس من هو مذنب
....... فمن يعظ العاصرين بعد محمد
“ kalaulah seorang yang berdosa tidak(mau)
menasehati manusia(lainnya) …… maka siapa lagi yang akan menasehati orang-
orang yang datang setelah Muhammad ﷺ.”
Ibnu Abi Dunya meriwayatkan sebuah hadis dengan
sanad yang didalamnya terdapat kelemahan, yang diriwayatkan dari Abu hurairoh
Radiyallahu ‘anhu dari Nabi ﷺ bahwasannya
beliau bersabda “serulah manusia kepada kebaikan meskipun engkau belum bias mengerjakannya
sepenuhnya, dan cegahlah mereka akan kemunkaran meskipun engkau belum dapat
tercegah darinya sepenuhnya” ( Ghizaul Albab fi Syarh Manzumatil Adab).
Dikatakan kepada
Hasan Al- Bashri : Sesungguhnya si Fulan dia tidak ingin menasehati dan berkata
“sesungguhnya aku takut mengatakan apa yang tidak aku lakukan”.
Lantas Hasan
Al- Bashri berkata : dan siapakah diantara kita yang mengerjakan (semua)
yang ia katakan? sesungguhnya syaithon ingin mengalahkan kita dengan cara ini,
sehingga tidak ada lagi seorangpun yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah
akan kemungkaran.
Walhasil,
bahwa setiap mukmin wajib atasnya dengan syarat syarat yg ditentukan amar ma’ruf
dan nahi munkar walaupun ia seorang yang fasiq atau tanpa izin dari wali amr
sekalipun kepada teman- temannya yang ikut serta berbuat kemaksiatan bersamanya
hendaklah ia menginkarinya karna sesungguhnya manusia dibebani dengan tanggung
jawab ini, yakni saling menyeru kepada kebaikan dan mencegah akan kemunkaran.
Karena
sesungguhnya kewajiban seorang muslim terhadap sebuah perintah ada dua:
kewajiban melaksanakannya, kemudian kewajiban berda’wah kepadanya. Dan tidaklah
gugur salah satunya dengan gugurnya yang lain. Maka barang siapa yang melakukan
sebuah kemunkaran tidak gugur darinya kewajibanya untuk mencegah kemungkaran.
Meninggalkan da’wah
disebabkan syubhat- syubhat ini tidak lain hanyalah tipuan daya syaithon. Syaithon
tidak akan pernah senang melihat bani Adam dekat kepada Tuhannya.
Jangan sampai
berpikir untuk segan berda’wah disebabkan ketidaksempurnaan kita. Karna sejatinya
tiada kesempurnaan bagi seseorang setelah Muhammad ﷺ . Sedangkan umatnya adalah seorang hamba yang
kadang benar dan kadang salah.
من ذا الذي ما ساء قط .... و من له الحسنى فقط
Siapa
yang tidak pernah berbuat salah sama sekali …. Dan siapa yang hanya memiliki
kebaikan
Semoga bermanfaat
bagi kita semua,
Wallahu a’la
wa a’lam
Dikutip dari
Muqorror Fakultas Ushuluddin Tingkat 3 jurusan Hadits yang berjudul “ Tuhfatul Arib bima lidda’wati min Wasaila
wa Asaliba ” karangan Dr. Husein Hamid ‘Umar Ad- diib –hafizhohullah-.
_____________________________
Minyat
Samannud, Mesir.
Sabtu, 6
Rajab 1436 H
Akhukum Ahmad Remanda Ibnu Kholil El- ruhaily
EmoticonEmoticon