Jangan Tunggu Sempurna Baru Berdakwah

08.22 Add Comment
Ini merupakan lanjutan dari nasihat ana sebelumnya tentang kejujuran kita dalam amar ma’ruf dan nahi munkar. Mari kita angkat dari perkataan Abu Al- ‘atahiyyah yang berbunyi :

قد بين الرحمن مقت الذي ..... يأمر بالحق و لا يفعل
من كان لا تشبه أفعاله ........... أقواله فصمته أجمل


Ar- Rahman ( Allah) telah menyatakan kebencian- Nya terhadap seseorang……Yang ia menyeru kepada kebajikan dan tidak mengerjakannya.

Barang siapa yang perbuatannya tidak selaras ………. dengan perkataannya, maka dengan keadaannya yang begitu diamnya ia lebih baik.

Sebagaimana yang telah dipaparkan dengan jelas sebelumnya, bahwasannya banyak kita dapati di dalam Al- qur’an ataupun sunnah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam ancaman pedas terhadap mereka yang tidak jujur dalam menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Belum lepas rasa takut ini akan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat tentang adzab yang diterima oleh seorang lelaki yang menyeru kepada kebaikan tetapi tidak mengerjakannya, mencegah kemungkaran tetapi ia melakukannya.

Bahkan ancaman dan celaan- celaan ini sudah banyak yang membuat penuntut ilmu enggan untuk berda’wah, amar ma’ruf, nahi munkar serta mengamalkan ilmu- ilmu yang telah ia dapatkan semasa menuntut ilmu.

Diantara mereka ada yang berkata :

“Saya masih banyak kekurangan, dan masih melakukan sebagian perbuatan dosa. Aku merasa tidak pantas untuk berdakwah, sementara diriku sendiri masih banyak kekurangan”, 

Untuk tulisan kali ini akan ana angkat dari sebuah pertanyaan yang mungkin banyak dipertanyakan oleh mereka yang semangat dalam berda’wah namun disisi lain mereka menyadari akan kekurangan diri mereka sendiri. Begitu juga ulasan kali ini insya Allah juga akan menjawab syubhat yang menghantui pera penuntut ilmu hingga enggan untuk berda’wah.

Pertanyaannya adalah ; Apakah ada syarat ‘adalah ( adil atau dapat kita artikan sebagai kepribadian yang hampir sempurna) dalam amar ma’ruf nahi munkar? Dan apakah disyaratkan atas seorang da’I bahwa ia harus terlepas dari seluruh dosa dan kesalahan?
Ikhwati fillah a’azzniyallahu wa iyyakum…..

Pada hakikatnya, sudah sepatutnya seorang da’I itu perkataannya tidak menyelisi perbuatannya, akan tetapi hendaklah ia menyeru kepada kebajikan dan ia mengerjakannya, mencegah akan suatu kemungkaran namun ia pun tercegah darinya.

Dikatakan bahwasannnya ada seorang lelaki berkata kepada Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhu: “aku ingin menyeru orang kepada kebaikan dan mencegah mereka akan kemungkaran”, maka Ibnu ‘Abbas lantas berkata, apabila engkau tidak khawatir akan disalah- salahkan/ dicemarkan oleh tiga ayat berikut ini maka lakukanlah, namun pabila engkau takut akan celaanya maka mulailah dengan diri sendiri, kemudian beliau membacakan ayat – ayat tersebut,

                          أتأمرون الناس و تنسون أنفسكم و أنتم تتلون الكتاب أفلا تعقلون 

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”( Q.S Al- Baqarah : 44)

      ياأيها الذين أمنوا لم تقولون ما لا تفعلون.. كبر مقتا عند الله أن تقولوا ما لا تفعلون

“ Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”( Q.S As- Shaff : 2- 3)

Dan firmannya Allah menceritakan tentang Nabi Syu’aib ‘Alaihis Salam,

و ما أريد أن أخالفكم إلى ما أنهاكم عنه

“dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang” (Q.S Hud: 88)


Ibnu ‘Abbas berkata , apakah engkau telah memutuskannya ? ia berkata : tidak, lantas Ibnu ‘Abbas berkata: Maka mulailah dari diri engkau”.

Mungkin antum akan berkata : “ khabar- khabar yang shohih ini atau atsar- atsar yang jelas ini seakan- akan meletakkan syarat ‘adalah ( dapat kita maknai dalam hal ini hampir sempurna prilakunya ) dalam amar ma’ruf dan nahi munkar ”

Jawabannya, yang demikian itu adalah yang paling sempurna da’wahnya dan paling afdhol.

Kita dapat katakan bahwasannya seorang mukmin hendaklah ia menjadi seorang mukmin yang bertaqwa dan adil. Akan tetapi tidak dapat kita pungkiri bahwasanya tidak ada seorangpun di muka bumi ini yang luput dari dosa dan kesalahan. Namun disisi lain amar ma’ruf dan nahi munkar tetaplah harus ditegakkan.

Kalaulah seandainya tidak ada yang menasehati manusia selain seorang yang ma’sum dan terjaga dari kesalahan maka yang namanya amar ma’ruf dan nahi munkar tersebut akan terlantar tanpa ada yang menegakkannya, sedangkan ia adalah tiangnya agama islam ini.

Sebagaimana yang telah dikatakan seorang penyair,

إذا لم يعظ الناس من هو مذنب ....... فمن يعظ العاصرين بعد محمد

“ kalaulah seorang yang berdosa tidak(mau) menasehati manusia(lainnya) …… maka siapa lagi yang akan menasehati orang- orang yang datang setelah Muhammad .”

Ibnu Abi Dunya meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad yang didalamnya terdapat kelemahan, yang diriwayatkan dari Abu hurairoh Radiyallahu ‘anhu dari Nabi bahwasannya beliau bersabda “serulah manusia kepada kebaikan meskipun engkau belum bias mengerjakannya sepenuhnya, dan cegahlah mereka akan kemunkaran meskipun engkau belum dapat tercegah darinya sepenuhnya” ( Ghizaul Albab fi Syarh Manzumatil Adab).

Dikatakan kepada Hasan Al- Bashri : Sesungguhnya si Fulan dia tidak ingin menasehati dan berkata “sesungguhnya aku takut mengatakan apa yang tidak aku lakukan”.

Lantas Hasan Al- Bashri berkata : dan siapakah diantara kita yang mengerjakan (semua) yang ia katakan? sesungguhnya syaithon ingin mengalahkan kita dengan cara ini, sehingga tidak ada lagi seorangpun yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah akan kemungkaran.

Walhasil, bahwa setiap mukmin wajib atasnya dengan syarat syarat yg ditentukan amar ma’ruf dan nahi munkar walaupun ia seorang yang fasiq atau tanpa izin dari wali amr sekalipun kepada teman- temannya yang ikut serta berbuat kemaksiatan bersamanya hendaklah ia menginkarinya karna sesungguhnya manusia dibebani dengan tanggung jawab ini, yakni saling menyeru kepada kebaikan dan mencegah akan kemunkaran.

Karena sesungguhnya kewajiban seorang muslim terhadap sebuah perintah ada dua: kewajiban melaksanakannya, kemudian kewajiban berda’wah kepadanya. Dan tidaklah gugur salah satunya dengan gugurnya yang lain. Maka barang siapa yang melakukan sebuah kemunkaran tidak gugur darinya kewajibanya untuk mencegah kemungkaran.

Meninggalkan da’wah disebabkan syubhat- syubhat ini tidak lain hanyalah tipuan daya syaithon. Syaithon tidak akan pernah senang melihat bani Adam dekat kepada Tuhannya.

Jangan sampai berpikir untuk segan berda’wah disebabkan ketidaksempurnaan kita. Karna sejatinya tiada kesempurnaan bagi seseorang setelah Muhammad . Sedangkan umatnya adalah seorang hamba yang kadang benar dan kadang salah.

من ذا الذي ما ساء قط        ....        و من له الحسنى فقط

Siapa yang tidak pernah berbuat salah sama sekali …. Dan siapa yang hanya memiliki kebaikan





Semoga bermanfaat bagi kita semua,
Wallahu a’la wa a’lam


Dikutip dari Muqorror Fakultas Ushuluddin Tingkat 3 jurusan Hadits yang berjudul  “ Tuhfatul Arib bima lidda’wati min Wasaila wa Asaliba ” karangan Dr. Husein Hamid ‘Umar Ad- diib –hafizhohullah-.
_____________________________
Minyat Samannud, Mesir.
Sabtu, 6 Rajab 1436 H
Akhukum Ahmad Remanda Ibnu Kholil El- ruhaily



Engkau Lebih Butuh Akan Nasehatmu Sebelum Orang Lain Wahai Saudaraku

15.20 Add Comment

Di sela- sela membaca buku “ Asalibud Da’wah “, mata ini tertuju pada sebuah pesan yang disampaikan oleh seorang ulama yang terkenal dengan zuhudnya, tauladanya yang baik, serta yang dikenal juga sebagai Sayyidul Wu’aadzh( yakni tuannya penasihat). Beliau adalah Abul ‘Abbas Muhammad Ibnu Shobiih atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnus Samak.

Di dalam buku tersebut beliau menyatakan rasa sedihnya melihat banyak di kalangan para da’I yang mereka berkata akan tetapi tindakannya tidak mengiyakan perkataan tersebut, mereka menasehati akan tetapi diri tak ternasihatkan, mereka mengarahkan ( kepada kebaikan ) akan tetapi diri mereka sendiri tidak terarahkan.

Beliau berkata;

" كم من مذكر بالله ناس لله.... و كم من مخوف بالله جريء على الله.... و كم من مقرب إلى الله بعيد
" عن الله..... و كم من داع إلى الله فار من الله.... و كم من تال لكتاب الله منسلخ عن آيات الله

“ Berapa banyak yang mengingatkan (orang lain) akan Allah lupa dengan Allah….. berapa banyak yang menumbuhkan rasa takut (kepada orang lain) terhadap Allah berani kepada Allah…… dan berapa banyak yang mendekatkan (orang lain) kepada Allah akan tetapi dirinya jauh dari Allah……berapa banyak pula dari Da’I yang berdakwah di jalan Allah malahb lari mjenjauh dari-Nya….. dan berapa banyak yang membacakan (kepada orang lain) kitabullah melepaskan diri dari ayat- ayat Allah.”

Na’udzubillah min dzalik…

Maka ikhwah sekalian - barokallahu fiikum -, dari tulisan ini ana ingin berwasiat kepada antum semua terlebih lagi kepada diri ana sendiri yang sangat jauh dari kesempurnaan. Kalaulah bukan karna satu ayat didalam Al-qur’an yang menyatakan bahwa seluruh insan itu berada dalam kerugian kecuali mereka yang saling memberi nasihat, maka tidak berani rasanya diri ini untuk memberi nasihat. Kalaulah bukan karna kecintaan ana kepada antum didasari atas kecintaan ana kepada Allah dan Rasul- Nya, tidaklah ana salin tulisan yang panjang ini.

Ketahuilah wahai saudaraku bahwasannya pelaku amar ma’ruf dan nahi munkar hendaklah takut kepada Allah, bukan terhadap manusia. Hendaknya ia jujur dalam amar ma’ruf dan nahi mungkarnya, baik dalam keadaan sendiri maupun didepan khalayak ramai. Tidak berhati malaikat secara zhohir namun batinnya bak syaithon. Dan hendaklah ia waspada akan masuknya ia didalam jenis orang yang Allah ceritakan didalam Al-qur’an :

" يستخفون من الناس و لا يستخفون من الله و هو معهم "

“ Mereka dapat bersembunyi dari manusia, akan tetapi mereka tidak dapat bersembunyi dari Allah , karena Allah beserta mereka “ ( Q.S An- Nisa’: 108).

Berkatalah Ibnu ‘Abdil Bar :

Allah subhanahu wa ta’ala di dalam Al-qur’an benar- benar telah mencela suatu kaum yang mana mereka memerintahkan manusia akan suatu kebajikan, sedangkan mereka tidak mengerjakannya. Allah cela mereka dengan celaan yang pedas yang senantiasa dibaca sepanjang masa hingga hari kiamat. Allah berfirman :

أتأمرون الناس بالبر و تنسون أنفسكم و أنتم تتلون الكتاب أفلا تعقلون

“ Mengapa kamu menyuruh orang lain ( mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab(Taurat) ? Tidakkah kamu mengerti ?”

Dan diantara ancaman yang datang di dalam sunnah tentang hal ini ialah Sabda Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Abu Zaid (Usaman) bin Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu bahwasannya ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “seorang dihadapkan di hari kiamat kemudian dilemparkan kedalam neraka, maka keluar usus perutnya, lalu berputar-putar di dalam neraka bagaikan himar(keledai) yang berputar-putar disekitar penggilingan, maka berkerumunlah ahli neraka kepadanya sambil bertanya, “Hai fulan ada apa engkau?, tidak kah engkau dahulu menganjurkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran ? Jawabannya, Benar, aku dahulu  menganjurkan kebaikan, tetapi tidak aku kerjakan, dan mencegah kemungkaran, tetapi aku kerjakan” ( H.R Bukhari dan Muslim).

Ikhwati fillah a’azzaniyallahu wa iyyakum …

Marilah kita tingkatkan rasa keikhlasan kita dalam berda’wah dijalan Allah ini. Jangan sampai lisan ini menghimbau manusia kepada kebajikan lalu perbuatan ini mengingkari lisan kita. Himbaulah manusia kearah yang baik sesukamu asalkan perbuatan ini selaras dengan himbauanmu. Cegahlah manusia dari kemungkaran apabila mereka salah, asalkan dirimu tidak serta didalamnya.
Abu Al- ‘Atahiyyah berkata:

قد بين الرحمن مقت الذي ..... يأمر بالحق و لا يفعل
من كان لا تشبه أفعاله ........... أقواله فصمته أجمل

Ar- Rahman ( Allah) telah menyatakan kebencian- Nya terhadap seseorang……Yang ia menyeru kepada kebajikan dan tidak mengerjakannya.

Barang siapa yang perbuatannya tidak selaras ………. dengan perkataannya, maka dengan keadaannya yang begitu diamnya ia lebih baik.


Sebuah pertanyaan yang mungkin akan terbersit di pikiran kita, Apakah ada syarat ‘adalah ( dapat kita artikan sebagai kepribadian yang hampir sempurna) dalam amar ma’ruf nahi munkar? Dan apakah disyaratkan atas seorang da’I bahwa ia harus terlepas dari seluruh dosa dan kesalahan? Insya Allah kita akan mengupas pembahasan ini di lain waktu.

Hanya ini nasihat ana kepada antum, semoga dapat diambil pelajaran darinya, barokallahu fiikum jami’an ….. bittaufiq wen nagaah.

bersambung.......



Dinukil dari Muqorror Fakultas Ushuluddin Tingkat 3 jurusan Hadits yang berjudul  “ Tuhfatul Arib bima lidda’wati min Wasaila wa Asaliba ” karangan Dr. Husein Hamid ‘Umar Ad- diib.
____________________
Minyat Samannud
Jum’at, 6 Rajab 1436 H



"Misi Besar Syaithon la'natullah 'alaih "

01.31 Add Comment

Bukan menjerumuskan Bani Adam dalam suatu dosa dan kesalahan yang menjadi misi besar bagi Syaithon la'natullah 'alaih. Karena sesungguhnya kita semua tidak akan bisa terlepas dari dosa dan kesalahan, bagaimanapun kita dan kedudukan kita di dunia ini. 


Bahkan Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam telah bersumpah atas nama Allah bahwa kita semua pasti dan akan berbuat dosa. 



Sebagaimana sabdanya, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian tidak pernah berbuat dosa, niscaya Allah akan mengganti kalian dengan mendatangkan suatu kaum yang kemudian kaum tersebut berbuat dosa, kemudian mereka meminta ampun kepada Allah, dan Allah akan mengampuni mereka” (HR. Muslim).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bercerita tentang kisah Nabi Adam, beliau mengatakan, “Adam telah melanggar larangan Allah, maka anak keturunannya pun juga akan melanggar larangan Allah. Adam telah lupa, maka anak keturunannya pun juga akan lupa. Adam telah berbuat dosa, maka anak keturunannya pun juga berbuat dosa” (HR.Tirmidzi, hasan shahih ).

Namun ketahuilah Ikhwati fillah a'azzaniyaallahu wa iyyakum, ...

Hal yang menjadi misi besar bagi syaithon adalah bagaimana menjauhkan Bani Adam dari Taubat kepada YANG MAHA PENGAMPUN atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan.

Oleh karnanya Allah subhānahu wa ta'ālaā tidak pernah sekalipun memuji manusia yang bersih dari dosa dan kesalahan, karena memang tidak ada orang yang bisa demikian. Akan tetapi yang Allah selalu puji baik melalui firman-Nya maupun sabda Rasul-Nya adalah manusia yang apabila berbuat salah dan dosa ia bergegas untuk bertaubat atas dosanya tersebut.

Lihatlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Setiap anak Adam pasti sering melakukan dosa dan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah orang yang rajin bertaubat” . (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, hasan ).

Kita akan berdosa bukan berarti kita tidak takut untuk berbuat dosa, dengan anggapan bahwa kita bisa bertaubat setelahnya. Kita tidak pernah tahu bagaimana hati kita setelah itu, apakah HIDAYAH ALLAH masih menyapa kita atau tidak. 

Pepatah Arab mengatakan, 

ﻻ ﺗﺸﺮﺏ ﺍﻟﺴﻢ ﺍﺗﻜﺎﻻ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻋﻨﺪﻙ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﺮﻳﺎﻕ

" janganlah kau minum racun atas dasar bahwa kau memiliki penawarnya ".

Namun setiap kali kita melakukan dosa dan kesalahan sekecil apapun itu, bersegeralah untuk taubat, istighfar, meminta ampunan kepada Allah subhanahu wa ta'ala, sehingga dengannya Allah semakin cinta kepada kita, Allah semakin sayang kepada kita.

Semoga kita senantiasa menjadi hamba-Nya yang tidak luput dari taubat dan istigfar. Dan semoga Allah menerima taubat kita. 

Waffaqonallahu wa iyyakum .



________________________________________

Minyat Samannud
Selasa, 28 Rabi'us Tsani 1436

Berdiri Menyambut Seseorang yang Datang

16.22 Add Comment

Merupakan suatu hal yang sudah menjadi kebiasaan sebahagian dari kita, yaitu apabila seorang kawan, saudara, atau siapapun itu, baik yang kita kenal atau tidak menghampiri kita sedangkan kita dalam keadaan duduk, kita menyambutnya dengan berdiri.
Kita beranggapan bahwa hal ini merupakan suatu adab dalam menyambut seseorang tersebut. Yang apabila kita tidak berdiri untuk menyambutnya serta menyalaminya, seakan akan kita termasuk orang yang kurang dalam hal sopan santun.
Apakah anggapan seperti ini benar ?

Ikhwati fillah a'azzaniyallahu wa iyyakum...

Bukan suatu keharusan berdiri untuk setiap orang yang datang menghampiri kita. Ulama merincikan masalah ini sebagai berikut :
● Apabila berdiri untuk seseorang yang datang disebabkan oleh alasan alasan tertentu seperti menyambutnya dari safar, menyambutnya karna lamanya tidak bersua atau berdiri menghormatinya dikarenakan oleh usianya yg lebih tua dari kita dan lain lain, maka yang demikian itu termasuk hal yang diperbolehkan bahkan dianjurkan.

Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Bani Quraizhah ketika melihat Sa'ad bin Mu'adz datang ;
قوموا إلى سيدكم
"Berdirilah menuju pemimpin kalian!" [1].

Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu ‘anhu juga berdiri dan beranjak dari hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘anhu datang setelah Allah menerima taubatnya, hal itu dilakukan Thalhah untuk menyalaminya dan mengucapkan selamat kepadanya, kemudian duduk kembali (Peristiwa ini disaksikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak mengingkarinya) [2].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mendatangi Fathimah Rodiyallahu 'anha, Fathimah berdiri untuk menyambut dan mendudukan beliau. Dan apabila ia pergi mendatangi Nabi, Nabi shallahu 'alaihi wa sallam juga berdiri menyambutnya kemudian mendudukinya [3].

● Adapun berdiri untuk seseorang setiap kali ia datang atau masuk tanpa maksud dan alasan menyambut atau menyalaminya , akan tetapi hanya sekedar menghormati. Sikap seperti ini merupakan hal yang makruh.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu bahwasannya ia berkata:

لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم – وَكَانُوْا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُوْمُوْا لَهُ, لِمَا يَعْلَمُوْنَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لِذَلِكَ

“ Tidak ada orang yang lebih dicintai oleh para sahabat selain Nabi shallallahu alaihi wasallam dan (walaupun demikian) apabila mereka melihat beliau, mereka tidak berdiri (untuk menghormati), karena mereka mengetahui beliau membenci hal itu.” [4].

Akan tetapi apabila seseorang yang datang tersebut menginginkan agar orang-orang yang ia datangi berdiri untuk menyambutnya maka hal ini sangat dilarang bahkan diharamkan.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah Rodiyallahu ‘anhu ,

" من سره أن يمثل له الرجال قياما فليتبوأ مقعده من النار "

 “Barangsiapa yang suka seseorang berdiri untuknya, maka persiapkanlah tempat duduknya di neraka” [5].

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu Hafizahullah berkata ;
“Dipahami dari dua hadist ini bahwa seorang muslim yang suka dihormati oleh manusia dengan berdiri ketika memasuki suatu majelis mendapat ancaman masuk neraka, dan para sahabat radhiallohu 'anhum sangat mencintai Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi jika mereka melihat Rasulolloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang, mereka tidak berdiri menghormati beliau, karena mereka mengetahui kebencian rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap berdiri untuk menghormatinya”
(Minhaj firqotun najiah wa thoifatul manshuroh hal 127, Darul Haromain)

Beberapa perkataan Ulama’ tentang hal ini :
o   Imam Al- Baghowi Rahimahullah di dalam [ Syarhus sunnah : 12/ 295 ] setelah menyebutkan hadits Mu’awiyah diatas ia berkata : “Ancaman ini bagi siapa yang memintanya karna takabbur atau sombong. Adapun berdiri dengan niat menghormati maka ini tidaklah sesuatu yang makruh, sebagaimana Rasul shollahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepada Bani Quraizhoh tatkala Sa’ad bin Mu’adz datang kepada mereka : { berdirilah menuju tuan kalian }.”

o   Imam Nawawi di dalam [ Syarh Shohih Muslim : 4/ 383 ] cetakan As- sya’bu, beliau berkata :

“ Sabda Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam : " Berdirilah menuju pemimpin kalian !", di dalamnya terdapat anjuran memuliakan dan menghormati orang- orang sholeh dan menyambut mereka dengan berdiri apabila mereka datang. Beginilah para Jumhur Ulama berhujjah atas anjuran berdiri menyambut kedatangan seseorang. Al- Qhodi berkata: yang demikian ini bukanlah berdiri yang dilarang. Adapun berdiri yang dilarang itu adalah berdiri untuk seseorang, sedangkan orang tersebut dalam keadaan duduk.”
o   Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya sebagaimana termaktub dalam [ Majmu’ Fatawa: 1/ 374 ]:

“ Tentang bangkit dan berdiri yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang dengan alasan menghormati atau memuliakan seseorang yang dikenal apabila ia datang, apakah boleh atau tidak ?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Bukanlah termasuk kebiasaan para salaf di zaman Nabi-shallallahu alaihi wasallam dan para Khulafa’u Rasyidin apabila melihat Nabi mereka berdiri, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang di zaman ini, bahkan Anas bin Malik mengatakan:

لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم – وَكَانُوْا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُوْمُوْا لَهُ, لِمَا يَعْلَمُوْنَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ
 لِذَلِكَ.

“Tidak ada orang yang lebih dicintai oleh para sahabat selain Nabi shallallahu alaihi wasallam dan (walaupun demikian) apabila mereka melihat beliau, mereka tidak berdiri (untuk menghormati), karena mereka mengetahui beliau membenci hal itu.”

Beliau menambahkan lagi: “ Yang harus dilakukan oleh orang-orang adalah membiasakan diri untuk mengikuti para salafus shalih (baca: sahabat) pada zaman Rasulullah, karena mereka adalah generasi terbaik, dan sebaik-baik perkataan adalah firman Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah, maka janganlah sekali-kali seseorang itu keluar dari petunjuk makhluk terbaik (baca:Rasulullah), serta petunjuk para sahabat dan menggantinya dengan petunjuk yang lain, dan yang harus dilakukan oleh orang-orang yang dita’ati untuk tidak membiarkan hal itu dilakukan terhadapnya, supaya mereka tidak berdiri ketika melihatnya, namun adapun berdiri untuk menyambut seseorang yang baru datang dari safar dan yang sejenisnya maka ini tidak mengapa.Wallohu A’lam.”

Inilah beberapa perkataan ulama tentang berdiri untuk menyambut seseorang yang datang.

catatan:
Termasuk berdiri yang dilarang adalah berdiri untuk menghormati iringan jenazah yang lewat.
Dari Amir bin Rabi’ah dia berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian melihat iringan jenazah maka berdirilah untuk menghormatinya sampai ia lewat atau diletakkan [6].
Akan tetapi perintah ini sudah dihapus hukumnya. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dia berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dahulu berdiri untuk menghormati jenazah, kemudian beliau duduk [tidak berdiri untuk menghormati lagi].” [7].


Foote Note :
[1]. Hadits riwayat Bukhori (3043) dan Muslim (1768).
[2]. Hadits riwayat Bukhori (4418) dan Muslim (2769).
[3]. Hadits riwayat Bukhori dalam Al-adab Al-Mufrod (947).
[4]. Silahkan lihat, diantaranya Al-adab Al-Mufrod (946) dan Tirmidzi (754).
[5]. Hadits riwayat Bukhori dalam Al-adab Al-Mufrod (977), Abu Dawud (5229), Tirmidzi    (2755) dll.
[6]. Hadits riwayat Muslim (958).
[7]. Hadits riwayat Muslim (962).

Wallahu ta'ala a'lam .




Referensi :

·         Faidah dari kajian Tafsir Juz ‘Amma karangan Syekh ‘Ala’ ibnu Muhammad Al- Buhiy ( salah satu murid Syekh Musthofa Al- ‘adawy ) Hafidzhohumallah.
·         Buku tafsir karangan Syekh kami Musthofa Al- ‘adawy yang dinamakan At- tashil li Takwilit Tanziil.






Minyat Samannud , Mesir.
Senin, 4 Jumadal Ula 1436 H